Jumat, 02 Januari 2015
Korupsi
SOLO - Sistem politik yang dikembangkan saat ini dituding sebagai penyebab maraknya korupsi di Indonesia. Termasuk kasus-kasus korupsi yang menjerat kepala daerah saat ini, merupakan akibat dari sistem politik nasional yang multi partai dan sistem rekrutmen politik berbiaya tinggi.
Pernyataan tersebut dikemukakan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin seusai membuka sekolah SD Alam Muhammadiyah Surya Mentari di Solo, Jawa Tengah, (22/12).
"Kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah sangat memprihatinkan. Fakta yang juga saya ketahui, 70 persen kepala daerah terjerat kasus korupsi, bahkan di Jawa Tengah ada 50 persen," katanya.
Din mencontohkan, untuk menjadi legislator, gubernur, wali kota atau bupati, para calon harus mengeluarkan biaya sangat besar.
Akibatnya, para calon harus membayar dengan kuitansi.
Di situlah awal terjadinya korupsi dan kolusi.
"Saat Pilpres 2009 misalnya, bayangkan saja pasangan SBY-Boediono harus mengeluarkan dana hingga Rp 20 miliar. Itu untuk satu putaran," ungkapnya.
Menurut Din, komitmen moral yang selama ini dijanjikan juga sangat lemah. Hal tersebut menjadi penyebab terjadinya kasus korupsi yang menjerat kalangan eksekutif, legislatif bahkan yudikatif.
"Harus ada ledakan dahsyat dari atas terkait pemberantasan korupsi. Selain itu juga sudah saatnya menerapkan Undang-Undang (UU) Antikorupsi yang bersifat pembuktian terbalik.
Dengan menggunakan pembuktian terbalik, akan membuat koruptor memiliki rasa takut," jelasnya.
Dengan pembuktian terbalik, lanjut Din, para koruptor yang tidak punya rasa takut ini akan lebih takut. Penegakan hukum juga harus kuat, tidak seperti saat ini, koruptor yang kaya bisa membeli hukum dan di tingkat pidana mereka bebas.
Lebih lanjut, Din mengatakan untuk memperkuat karakter moral bangsa, Muhammadiyah akan melakukan konsensus nasional yang akan digelar awal Februari 2014.
"Ada 3 hal yang akan dibahas, yakni konsolidasi demokrasi untuk meluruskan demokrasi yang berkembang saat ini tidak ke arah otoriterisme. Perubahan pada UUD 45 yang mengukuhkan kembali peran golongan dan utusan daerah, serta penguatan karakter bangsa," tandasnya.(Md/A Rus)
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT
1.
Abstrak
Salah satu amanat Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 adalah pembentukan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
dengan kewenangan antara lain menerima laporan tentang dugaan praktik monopoli
atau persaingan usaha tidak sehat, melakukan penelitian tentang dugaan adanya
kegiatan atau tindakan yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat, memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian bagi pelaku
usaha lain atau masyarakat, sampai dengan kewenangan menjatuhkan sanksi kepada
pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Anti Monopoli.
2.
Pendahuluan
Komisi Pengawas
Persaingan Usaha merupakan komisi yang dibentuk berdasarkan amanat
Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat. Dalam UU Anti Monopoli antara lain diatur bahwa
kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah :
·
Menerima laporan dari masyarakat dan
atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat
·
Melakukan penelitian tentang dugaan
adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
·
Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak
adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat
·
Menjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini
(Pasal 36 UU Anti Monopoli)
3.
Pembahasan
3.1 Pengertian Antimonopoli dan
Persaingan Usaha
“Antitrust”
untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah
“dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti
istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu
“kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah
“monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling
dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk
menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar
tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya
kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang
lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang
permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian
Praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999
tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang
Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat
(1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek
monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih
pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak
sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Anti Monopoli.
3.2 Asas dan Tujuan Antimonopoli dan
Persaingan Usaha
3.2.1
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam
menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
3.2.2
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha
adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara
pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung
mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU
persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan
konsumen.
3.3 Kegiatan yang dilarang dalam
Antimonopoli
Kegiatan
yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah
keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam
kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan,
serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi,
sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam
dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
3.4 Perjanjian yang dilarag dalam
Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Jika
dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan
secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang
tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih
pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain
dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih
menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut
sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit
agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara,
namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya
”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai
perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya
perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan
conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian”
kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori
kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli .
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam
bentuk sebgai berikut :
1. Oligopoli
2. Penetapan
harga
3. Pembagian
wilayah
4. Pemboikotan
5. Kartel
6. Trust
7. Oligopsoni
8. Integrasi
vertikal
9. Perjanjian
tertutup
10. Perjanjian
dengan pihak luar negeri
3.5 Hal-hal yang dikecualikan dalam
Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti
Monopoli adalah sebagai berikut:
3.5.1
Perjanjian-perjanjian tertentu yang
berdampak tidak baik untuk persaingan pasar yang terdiri dari:
1. Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar
dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka
atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2.
Penetapan harga
Dalam rangka penetralisir
pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
·
Perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama.
·
Perjanjian yang mengakibatkan pembeli
harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli
lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
·
Perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
·
Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
dari pada harga yang telah diperjanjikan
3. Pembagian
wilayah
Mengenai pembagian wilayah, pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha
lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan dalam negeri maupun
pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha persaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan
anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
·
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain dengan tujuan untuk secara bersama-sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang
dan atau jasa dalam pasar bersangkutan.
·
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap
secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua
atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 %
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8. Integrasi
vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi
sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa
tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolahan atau
proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian
tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang
menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali
barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat
tertentu.
10. Perjanjian
dengan pihak luar negeri
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat
ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
3.5.2
Kegiatan-kegiatan tertentu yang
berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:
1. Monopoli
Monopoli adalah situasi pengadaan
barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya
sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat
dikendalikan.
2. Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang
tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas
pada seorang pembeli.
3. Penguasaan
pasar
Penguasaan pasar adalah proses,
cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian pelaku usaha dilarang
melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama
pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha
tidak sehat.
4. Persekongkolan
Persekongkolan adalah berkomplot
atau bersepakat melakukan kejahatan (kecurangan).
3.5.3
Posisi dominan, yang meliputi:
·
Pencegahan konsumen untuk memperoleh
barang atau jasa yang bersaing
·
Pembatasan pasar dan pengembangan
teknologi
·
Menghambat pesaing untuk bisa masuk
pasar
·
Jabatan rangkap
·
Pemilikan saham
·
Merger, akuisisi, konsolidasi
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
(KPPU)
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
(KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk
memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. KPPU menjalankan tugas untuk
mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
Perjanjian
yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak
lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot,
perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel,
trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
Kegiatan
yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi
dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam
pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se
illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule
of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak
yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin
hal-hal berikut di masyarakat:
1. Konsumen
tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
2. Keragaman
produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
3. Efisiensi
alokasi sumber daya alam
4. Konsumen
tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim
ditemui pada pasar monopoli
5. Kebutuhan
konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan
layanannya
6. Menjadikan
harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
7. Membuka
pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
8. Menciptakan
inovasi dalam perusahaan
3.6 Praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat (UU No. 5 Tahun 1999 tentang anti monopoli)
3.6.1
Praktek
monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau
lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran
atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak
sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
3.6.2
Persaingan
usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
3.6.3
Kegiatan
yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2
Posisi dominan adalah keadaan di
mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan
dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai
posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta
kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Menurut pasal 33 ayat 2 “
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik,
telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai oleh negara tidak boleh dikuasai swasta
sepenuhnya.
3.6.4
Perjanjian
yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan
·
Penggabungan
adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan
beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan
selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena
hukum.
·
Peleburan
adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang
karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang
meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena
hukum.
·
Pengambilalihan
adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau
mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan
Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap
Perseroan/Badan Usaha tersebut.
3.6.5
Sanksi
4. 1Sanksi
administrasi
Sanksi administrasi adalah dapat
berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal,
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan
pembatalan atas penggabungan , peleburan dan pengambilalihan badan usaha,
penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar
rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.
4. 2Sanksi
pidana pokok dan tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan
adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal,
perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni,
penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan dikenakan denda minimal dua piluh lima miliar rupiah dan
setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran penetapan
harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan
rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima
miliar rupiah.
Sementara itu, bagi pelaku usaha
yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan
sesuai dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :
·
Pencabutan izin usaha
·
Larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya
lima tahun
·
Penghentian kegiatan atau tindakan
tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain
4.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum yang mendasari beberapa Putusan KPPU
terpilih tersebut meliputi asas-asas hukum berikut :
Asas anti
pemilikan saham pada dua atau lebih perusahaan pada pasar yang sama oleh satu
pihak saja; Asas anti kartel (larangan terhadap perjanjian penetapan harga
antara dua atau lebih pelaku usaha yang menyebabkan persaingan usaha tidak
sehat); Asas anti diskriminasi (perlakuan yang sama dalam konteks hal-hal yang
memang sifatnya sama); Asas kompetisi yang fair; Asas larangan penguasaan dan
atau pemasaran secara monopoli dan penggunaan posisi dominan untuk menghalangi
konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing di pasaran.
Sumber:
kerthawicaksana_vol18_No1_201201_ISSN0853-6422_Art-122.pdf
(http://ejournal.warmadewa.ac.id/wp-content/uploads/2012/04/kerthawicaksana_vol18_No1_201201_ISSN0853-6422_Art-122.pdf )
Langganan:
Postingan (Atom)